Rabu, 22 Agustus 2012

Sinaji 2.427 mdpl


A.    Historis
           Gunung Sinaji (2.427 mdpl) adalah salah satu gunung dari beberapa puncak di pegunungan  Latimojong. Nama Sinaji yang sekarang dipakai untuk menyebut gunung ini, menurut  masyarakat sekitar berasal dari bahasa Belanda yang diberikan pada saat penjajah Belanda masuk ke daerah sekitar gunung  Sinaji. Sampai sekarang belum diketahui apa makna sebenarnya dari nama Sinaji tersebut.

B.     Geografis
Letak  Gunung Sinaji :
Gunung Sinaji terletak pada LS 03°15’21,06” dan BT 120°0’8,1” yang berbatasan dengan:
1.    Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu
2.    Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja Selatan
3.    Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu
4.    Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja Selatan

C.    Keadaan Alam
            Gunung Sinaji merupakan salah satu pegunungan Latimojong dengan ketinggian 2.427 mdpl. Selain panorama alam yang indah terlihat dari puncak gunung Sinaji, puncak gunung juga dihiasi oleh pohon-pohon kerdil yang mempunyai batang yang tegak dan kokoh dihiasi dengan bunga-bunga disetiap pucuk-pucuk daun yang mempunyai warna yang berbeda-beda, beraneka ragam jenis anggrek yang tumbuh pada batang pohon yang telah mati dan tumpukan lumut yang cukup tebal semakin memperindah panorama alam gunung Sinaji.
Dibalik keindahan yang disajikan oleh gunung Sinaji juga terdapat berbagai kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran
penduduk sekitar terhadap alam, misalnya di sepanjang perjalanan terdapat banyak bekas-bekas penebangan hutan secara liar, yang mengakibatkan terlihatnya longsoran di berbagai titik sepanjang jalur pendakian.

D. Sosial Budaya
Seperti halnya masyarakat pada umumnya yang ada di Indonesia, masyarakat di sekitar lembah Gunung Sinaji juga mempunyai budaya-budaya yang terlahir dari zaman dahulu hingga sekarang, diantaranya  seni ukir dan tongkonan (rumah adat).  Seni ukir dan bangunan  ibarat dua  sisi mata uang. Etnis Toraja selalu menghiasi bangunannya dengan ukiran.  Ukiran khas Toraja ini banyak ditemui pada eksterior maupun interior , dan alang sutra (lumbung padi). Ukiran yang terpahat pada rumah dan lumbung merupakan simbol makna hidup orang Toraja. Ukiran-ukiran itu ada yang bermakna hubungan manusia Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia  (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Jumlah ukiran diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna ukiran terdiri dari merah, kuning, putih, hingga hitam. Semua berasal dari tanah liat, yang disebut litak, kecuali warna hitam dari jelaga (hitam arak pada periuk) atau bagian dalam batang pisang muda. Masih ada jenis seni yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup dan budaya orang Toraja, yakni seni pahat. Seni ini dapat dilihat pada tongkonan merambu (rumah adat) dan tongkonan tang merambu (kuburan/patane). Peralatan hasil seni pahat yang harus ada pada rumah adat adalah kabongo', yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu nangka, dilengkapi tanduk kerbau asli. Kabongo' ini berarti bahwa tongkonan ini milik pemimpin masyarakat, tempat melaksanakan kekuasaan adat.
                    Demikian halnya masyarakat Tana Toraja pada umumnya yang banyak terlihat yaitu rumah adat masyarakat Toraja yang lebih dikenal dengan Rumah Tongkonan. Nama dari bangunan tongkonan ini sendiri berasal dari istilah “tongkon”, yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Tapi jangan salah Rumah Tongkonan ini berbeda dengan  rumah-rumah biasa yang sering ditinggali, dan lagi Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan,  melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan mempunyai beberapa fungsi antara lain, pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial. Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga bertingkat-tingkat dimasyarakat.

E. Sosial Ekonomi
                    Sebagian besar masyarakat Tana Toraja khususnya desa Uluway Timur bermata pencaharian bertani dan berkebun. Kebanyakan masyarakat berkebun dengan menanam tanaman jangka panjang seperti kopi dan cengkeh. Sedang masyarakat lainnya yang bercocok tanam di sawah hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
                    Peningkatan partisipasi pendidikan untuk memperoleh kesempatan dalam bidang pendidikan tentunya harus diikuti dengan berbagai peningkatan sarana fisik pendidikan dan tenaga pendidik yang memadai. Fasilitas pendidikan di Desa Uluway Timur sebagai desa terakhir entry point belum  cukup memadai, dikarenakan sarana yang ada mulai dari tingkat Sekolah Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Tingkat Pertama, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas masih sangat kurang dan bahkan belum tersedia.
                    Ketersediaan sarana kesehatan hingga saat ini jumlahnya masih sangat kurang dan tidak mengalami perubahan. Disamping penyediaan sarana kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka usaha penyediaan tenaga kesehatan juga diharapkan dapat ditingkatkan oleh pemerintah Tana Toraja.