A.
Historis
Gunung Sinaji (2.427 mdpl) adalah
salah satu gunung dari beberapa puncak di pegunungan Latimojong. Nama Sinaji yang
sekarang dipakai untuk menyebut gunung ini, menurut masyarakat sekitar berasal dari bahasa Belanda
yang diberikan pada saat penjajah Belanda masuk ke daerah sekitar gunung Sinaji. Sampai sekarang belum diketahui apa
makna sebenarnya dari nama Sinaji tersebut.
B. Geografis
Letak Gunung Sinaji :
Gunung Sinaji
terletak pada LS 03°15’21,06” dan BT 120°0’8,1” yang berbatasan dengan:
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Luwu
2.
Sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Tana Toraja Selatan
3.
Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Luwu
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Tana Toraja Selatan
C. Keadaan Alam
Gunung Sinaji merupakan salah satu
pegunungan Latimojong dengan ketinggian 2.427 mdpl. Selain panorama alam yang
indah terlihat dari puncak gunung Sinaji, puncak gunung juga dihiasi oleh
pohon-pohon kerdil yang mempunyai batang yang tegak dan kokoh dihiasi dengan
bunga-bunga disetiap pucuk-pucuk daun yang mempunyai warna yang berbeda-beda,
beraneka ragam jenis anggrek yang tumbuh pada batang pohon yang telah mati dan
tumpukan lumut yang cukup tebal semakin memperindah panorama alam gunung Sinaji.
Dibalik
keindahan yang disajikan oleh gunung Sinaji juga terdapat berbagai
kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran
penduduk
sekitar terhadap alam, misalnya di sepanjang perjalanan terdapat banyak
bekas-bekas penebangan hutan secara liar, yang mengakibatkan terlihatnya
longsoran di berbagai titik sepanjang jalur pendakian.
D. Sosial Budaya
Seperti halnya masyarakat pada
umumnya yang ada di Indonesia, masyarakat di sekitar lembah Gunung Sinaji juga
mempunyai budaya-budaya yang terlahir dari zaman dahulu hingga sekarang, diantaranya
seni ukir dan tongkonan (rumah adat). Seni ukir dan bangunan ibarat
dua sisi mata uang. Etnis Toraja selalu menghiasi bangunannya dengan
ukiran. Ukiran khas Toraja ini banyak ditemui pada eksterior maupun interior ,
dan alang sutra (lumbung padi). Ukiran yang terpahat pada rumah dan lumbung
merupakan simbol makna hidup orang Toraja. Ukiran-ukiran itu ada yang bermakna
hubungan manusia Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo
tau), ternak (lolo patuon), dan
tanaman (lolo tananan). Jumlah ukiran
diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna ukiran terdiri dari
merah, kuning, putih, hingga hitam. Semua berasal dari tanah liat, yang disebut
litak, kecuali warna hitam dari
jelaga (hitam arak pada periuk) atau bagian dalam batang pisang muda. Masih ada
jenis seni yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup dan budaya orang
Toraja, yakni seni pahat. Seni ini dapat dilihat pada tongkonan merambu (rumah adat) dan tongkonan tang merambu (kuburan/patane). Peralatan
hasil seni pahat yang harus ada pada rumah adat adalah kabongo', yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau
kayu nangka, dilengkapi tanduk kerbau asli. Kabongo'
ini berarti bahwa tongkonan ini milik pemimpin masyarakat, tempat melaksanakan
kekuasaan adat.
Demikian halnya masyarakat
Tana Toraja pada umumnya yang banyak terlihat yaitu rumah adat masyarakat
Toraja yang lebih dikenal dengan Rumah Tongkonan. Nama dari bangunan tongkonan
ini sendiri berasal dari istilah “tongkon”,
yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan
adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Tapi
jangan salah Rumah Tongkonan ini berbeda dengan
rumah-rumah biasa yang sering ditinggali, dan lagi Rumah ini tidak bisa
dimiliki oleh perseorangan, melainkan
dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan
sifatnya yang demikian, Tongkonan mempunyai beberapa fungsi antara lain, pusat
budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan
kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial. Oleh
karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga
bertingkat-tingkat dimasyarakat.
E. Sosial Ekonomi
Sebagian besar masyarakat
Tana Toraja khususnya desa Uluway Timur bermata pencaharian bertani dan
berkebun. Kebanyakan masyarakat berkebun dengan menanam tanaman jangka panjang
seperti kopi dan cengkeh. Sedang masyarakat lainnya yang bercocok tanam di sawah
hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Peningkatan partisipasi pendidikan
untuk memperoleh kesempatan dalam bidang pendidikan tentunya harus diikuti
dengan berbagai peningkatan sarana fisik pendidikan dan tenaga pendidik yang
memadai. Fasilitas pendidikan di Desa Uluway Timur sebagai desa terakhir entry point belum cukup memadai, dikarenakan sarana yang ada
mulai dari tingkat Sekolah Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Tingkat Pertama, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas masih sangat kurang dan
bahkan belum tersedia.
Ketersediaan
sarana kesehatan hingga saat ini jumlahnya masih sangat kurang dan tidak
mengalami perubahan. Disamping penyediaan sarana kesehatan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka usaha penyediaan tenaga kesehatan
juga diharapkan dapat ditingkatkan oleh pemerintah Tana Toraja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar